Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur di Korea Selatan

Maman Suhendra
Ekonom pada The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
Alumni KDI School of Public Policy & Management Korea Selatan

Salah satu kunci terciptanya pertumbuhan ekonomi adalah ketersediaan infrastruktur yang memadai. Sebab, infrastruktur yang memadai akan menjamin pergerakan manusia dan barang secara efektif dan efisien sehingga dapat menekan biaya dan mendorong investasi dan produksi.

Kondisi infrastruktur Indonesia masih memprihatinkan. Untuk sektor jalan, panjang jalan rata-rata hanya 217 km per 1000 km2. Padahal, jalan merupakan infrastruktur transportasi utama dibandingkan laut, udara, dan kereta api. Sektor jalan, misalnya, melayani lebih dari 84% dari total penumpang. Bahkan untuk pengangkutan barang, jalan melayani porsi sekitar 91,25% dari total muatan.

Sektor perkeretaapian yang memiliki karakteristik transportasi massa, perannya juga masih kecil. Kontribusi sektor ini dalam sistem komuter Jakarta hanya 2,5%. Sementara kontribusi untuk perjalanan jarak jauh juga masih sangat kecil (7,32% untuk penumpang dan 0,63% untuk barang) dan baru melayani Jawa dan Sumatra. Dari total panjang jalur kereta api 6.797 km yang ada, hanya 4.675 km (69%) yang dioperasikan.

Sektor kelistrikan masih menghadapi masalah kekurangan pasokan. Untuk mengatasi krisis ini dibutuhkan 2 juta sambungan baru per tahun agar pada 2020 tujuan “electricity for all” dapat tercapai. Rasio elektrifikasi kita masih berada pada kisaran 58%. Bila menggunakan asumsi jumlah penduduk tahun 2005 yang hampir 219 juta jiwa, ini berarti baru sekitar 58% penduduk atau sekitar 127 juta penduduk Indonesia yang dapat menikmati pelayanan jasa listrik. Sedangkan 42% lainnya, atau sekitar 92 juta penduduk masih belum bisa menikmati jasa listrik.

Peningkatan akses akan infrastruktur memerlukan investasi yang besar. Untuk periode 2005-2009, secara rata-rata diperlukan investasi US$13 miliar per tahun. Partisipasi swasta dalam penyediaan infrastruktur menjadi penting guna menutupi kesenjangan kebutuhan investasi. Pemerintah pun telah memfasilitasi keterlibatan swasta melalui model kemitraan pemerintah-swasta (public-private partnership/PPP) dengan skema pembagian risiko yang transparan. Namun, implementasi PPP ini masih menemui kendala. Padahal, di negara lain, PPP ini telah berhasil mendorong pembangunan infrastruktur.

PPP di Korsel

Salah satu negara yang sukses melaksanakan PPP ini adalah Korea Selatan (Korsel). Dalam kurun waktu 10 tahun, Korsel telah berhasil meningkatkan fasilitas infrastrukturnya berkat partisipasi swasta yang semakin baik. Sistem PPP yang dikembangkan merupakan kerjasama dan kemitraan antara Pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Sebagai pelengkap
investasi Pemerintah, PPP tidak hanya mendukung penyediaan infrastruktur ekonomi seperti jalan dan rel kereta api, tetapi juga infrastruktur sosial seperti sekolah dan cagar budaya.

Peran swasta dalam kemitraan penyediaan infrastruktur terus meningkat. Pada 1998, peran swasta dalam penyediaan infrastruktur sebesar 3,8% dari total kebutuhan investasi. Di tahun 2006 peran tersebut meningkat hampir 4 kali lipat menjadi 14,8% dari total kebutuhan investasi. Hal ini menandakan bahwa swasta telah menjadikan program kemitraan penyediaan infrastruktur sebagai salah satu alternatif menarik untuk berinvestasi.

Komitmen pemerintah Korsel untuk meningkatkan peran swasta dalam investasi infrastruktur dimulai sejak 1994 dengan pemberlakuan undang-undang kemitraan pemerintah-swasta, the Promotion of Private Capital into Social Overhead Capital Investment Act. Komitmen ini diperkuat dengan revisi atas undang-undang tersebut menjadi the Act on Private participation in Infrastructure pada tahun 1999 yang mencakup pembagian risiko dan penjaminan pendapatan minimum bagi pihak swasta yang terlibat dalam kemitraan penyediaan infrastruktur. Dalam revisi ini, Pemerintah juga mendirikan satu badan khusus yang fokus menyediakan asistensi teknis atas program kemitraan ini (yaitu PIMAC, Public and Private Infrastructure Investment Management Center).

Pemerintah juga menyiapkan dukungan dalam bentuk lain. Pertama, badan usaha pemegang hak konsesi dapat memiliki hak apropriasi tanah dan dapat menggunakan atau membeli aset publik secara cuma-cuma atau pada harga yang lebih rendah. Kedua, Pemerintah memberikan subsidi konstruksi dan jaminan pendapatan minimum kepada pemegang hak konsesi. Ketiga, Pemerintah juga menyiapkan fasilitas pajak bagi beberapa item terkait dengan pembangunan infrastruktur. Keempat, Pemerintah memberikan kompensasi bagi proyek-proyek yang terpaksa dihentikan karena alasan yang tak terhindarkan. Kelima, bagi proyek-proyek PPP dapat diberikan jaminan kredit sehingga dapat menunaikan kewajiban keuangan secara tepat waktu.

Ada 15 kategori infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta, yakni jalan, perkeretaapian, pelabuhan laut, komunikasi, sumber daya air, energi, lingkungan, logistik, bandar udara, kebudayaaan dan pariwisata, akomodasi militer, fasilitas pendidikan, kehutanan, perumahan rakyat, dan fasilitas kesejahteraan. Kementerian teknis bertanggung jawab atas penyusunan dan pengkoordinasian rencana investasi sektor. Kementerian teknis juga melakukan pengelolaan dan pengawasan atas proyek-proyek PPP sektoral.

Dari berbagai skema implementasi PPP, Korsel kerap menggunakan 2 skema, yaitu BTO (Build-Transfer-Operate) dan BTL (Build-Transfer-Lease). Pada dua skema ini, swasta membangun dan mengoperasikan fasilitas infrastruktur. Namun untuk BTO, swasta menerima pendapatan dari pemakai jasa, sedangkan untuk BTL swasta menerima pendapatan dari Pemerintah. Skema BTO dapat digunakan untuk proyek inisiatif pemerintah (solicited projects) maupun swasta (unsolicited projects), sementara BTL digunakan untuk proyek inisatif Pemerintah saja.

Menurut jumlah proyek per Juni 2007, untuk skema BTO, sektor-sektor infrastruktur yang menarik swasta adalah jalan (32,1%), pelabuhan (30,2%), logistik (20,7%), perkeretaapian (11,3%), dan lingkungan (5,7%). Dalam skema BTL, swasta lebih tertarik pada sekolah (63,4%), lingkungan (26.6%), budaya (5,0%), asrama militer (2,9%), sektor perkeretaapian (1,4%), dan balai latihan kerja (0,7%). Yang tak kalah menarik, dari total 161 proyek BTO, terdapat 92 proyek (hampir 60%) yang dikelola Pemerintah Daerah, sementara sisanya oleh Pemerintah Pusat.

Catatan bagi Indonesia


Korsel merupakan contoh sukses kemitraan pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur. Regulasi yang jelas dan dukungan yang memadai telah memungkinkan swasta menjadi mitra berkelanjutan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam penyediaan infrastruktur.

Pemerintah RI telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk mendorong kemitraan pemerintah dan swasta ini. Namun, Perpres ini masih memerlukan penyempurnaan agar lebih operasional. Beberapa isu penting yang perlu disempurnakan adalah ketentuan izin pengusahaan, kompensasi untuk unsolicited project, larangan pengalihan saham/perjanjian kerja sama, institusi pemberi kontrak, bentuk dan lingkup dukungan pemerintah, pelaksanaan negosiasi, pengaturan izin pengusahaan, perluasan lingkup jenis infrastruktur, penyediaan lahan, dan land capping.***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUAH ISTIQOMAH